ARTIKEL : PROTEKSI GURU
Disusun oleh :
Wulan Widaningsih,M.Pd.
Guru SMP Negeri 1
Kemang Bogor
Guru SMK
2 Makasar dianiaya orangtua siswa hingga babakbelur. Oleh karena itu Perudangan
Perlindungan bagi Guru harus menjadi wacana yang serius
Peristiwa
memilukan terjadi menimpa seorang guru SMK Negeri 2 Makasar, Drs. Dasrul , yang
habis digebuki oleh Adnan Achmad—orangtua siswa kelas 11 SMK Negeri 2
Makasar---
Orang
tua siswa dari Alif, siswa kelas 11 SMK 2 Makasar yang naik percobaan ini tega
menganiaya Bapak Dasrul hanya karena mendapatkan teguran tidak mengerjakan
tugas. Sikap yang dilakukan oleh Adnan Achmad sangat disayangkan mengingat
tindakannya amat ceroboh bahkan terkesan sewenang-wenang terhadap guru. Akibat
penganiayaan itu pa Dasrul mengalami patah hidung dan berdarah-darah.Kasus
penganiayan lainnya pun pernah terjadi,
saat orang tua siswa memenjarakan seorang guru yang menyubit siswa di Jawa
Timur. Dan beberapa kasus lainnya yang merugikan kewibawaan guru sebagai pendidik.
Hal ini
membuat miris kita bersama, civitas pendidik menjadi dirundung ketakuatan dan
merasa tidak aman dalam mengembangkan amanah mendidik putra-putri bangsa.
Sekolah bukan lagi tempat yang aman karena bisa saja sekonyong-konyong orang
tua dapat bebas datang dan memaki, menganiaya, bahkan menciduk guru untuk
dipenjarakan. Hal tersebut semestinya tidak perlu terjadi jika kita dapat
mengevaluasi situasi dan kondisi yang ada. Kecenderungan ini terjadi disebabkan
karena beberapa factor ;
Rendahnya
komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua. Kegagalan komunikasi pihak orang
tua dan sekolah berujung ada kesalahan persepsi dan tidak hadirnya kontak
silaturahmi yang sebenarnya bisa dipupuk secara bersama-sama antara guru dan
orang tua siswa. Hingga terjalin komunikasi positif dalam rangka membangun
tumbuh kembangnya siswa. Dan pada kenyataannya orang tua terkadang tidak hadir
di waktu-waktu penting sekolah, seperti
kontak komunikasi pada saat pembagian raport atau pada saat daftar
ulang. Bahkan terkadang orang tua mewakilkan pada kerabat atau tetangganya
sehinga tidak ada kontak pribadi dalam menyelesaikan permasalahan siswa
Belum jelasnya perjanjian khusus antara orang tua
siswa dan pihak sekolah mengenai ketentuan pelaksanaan tatatertib sekolah ,
sehingga tidak dipahami bentuk peringatan dan tindakan yang bermaksud
menertibkan atau mendidik siswa karena melakukan pelanggaran tatatertib
sekolah. Seharusnya perjanjian khusus antara sekolah dan orang tua dilakukan
secara jelas bila perlu menggunakan materai hingga memiliki legalisasi jelas,
jika guru melakukan tindakan itu hanya sebagai upaya menertibkan atau mendidik
siswa.
Faktor
lainnya adalah hukuman terhadap orang tua yang melakukan kekerasan atau
penganiayaan terhadap guru tidak ditanggapi dengan serius, bahkan tuntutan
balik tidak pernah terjadi. Dalam hal ini pihak guru saja yang dipersalahkan
sebagi objek pesakitan yang telah melakukan tindakan “salah” dalam menangani prilaku siswa. Padahal jika terdapat
tuntutan balik yang jelas maka tidak dengan mudah orang tua melakukan
kekerasaan atau mempidanakan guru.
Belum
tersosialisasinya undang-undang perlindungan guru secara jelas dan tersebar di
masyarakat bahwa guru dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh PP no.74
tahun 2008, pada pasal 39 ayat 1 bahwa
“Guru memiliki kebebasan memberikan sangsi kepada peserta didiknya yang
melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dari peraturan
tertulis maupun tidak tertulis yang
ditetapkan guru, peraturan yang ditetapkan tingkat satuan pendidikan dan perundang-undangan
dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangan. Pada ayat 2 menyatakan sangsi dapat berupa
teguran atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang sifatnya
mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan , kode etik guru dan peraturan
perundang-undangan.
Dari
pernyataan perundangan di atas sebenarnya sudah jelas bahwa guru memiliki hak
menangani siswanya dalam proses pembelajaran untuk berprilaku baik sesuai
dengan tatatertib, mulai melakukan teguran, peringatan hingga skoresing. Namun
orang tua dengan berbekal Undang-undang perlindungan anak pasal 80 ayat 1 berdalih bahwa apa yang dilakukan guru
dianggap mencedrai siswa atau menganiaya siswa hingga mengalami kerugian
materil dan imateril. Padahal berdasarkan yurisprudensi Mahkamah agung (MA)
yang dikutip dari website MA, menyatakan bahwa guru tidak dapat dipidana saat
menjalankan profesinya dan saat melakukan tindakan pendispilinan terhadap
siswa. Apa yang dilakukan guru adalah bagian dari tugas guru dan tidak dapat dijatuhi
pidana atau balik dianiaya , seperti yang dilakukan orangtua Alif pada pa
Dasrul.
Faktor
selanjutnya adalah paradigma guru dalam menangani kenakalan siswa pun harus
diperbaiki. Batasan yang lajim mencubit, memukul atau menampar yang sering
dilakukan sebagai upaya menertibkan siswa sudak tidak layak lagi dilakukan.
Kewibawaan guru tidak dapat dicapai dengan tidak penertiban fisik. Sebutan guru
kejam atau killer sudah tidak cocok lagi di jaman sekarang, tetapi dengan
memperlihatkan prestasi dan kecerdasan serta keteladanan akan menjadi kunci
charisma guru pada siswa. Carilah alternative positif yang lebih aman bagi
siswa baik secara mental ataupun psikis. Misalnya dengan metode point kesahan,
hukuman positif dengan membaca istigfar, melaksanakan shalat sunah atau dengan
metode yang lain. Upayakan pula melakukan pembelajaran yang menarik dan
menantangdi kelas sehingga siswa merasa senang dan mau menghabiskan energinya
dalam belajar. Hal ini akan menimbulkan penghormatan, kepercayaan dan rasa aman
bagi siswa dan tentunya bagi orangtua.
Dibalik
itu semua, tetap saja perlindungan dan keamanan bagi guru perlu diperbaiki
kembali. Pemerintah harus dapat menajamkan upaya sosialisasi bagi kewenangan guru dalam mendidik siswa.
Tidak sedikit-sedikit main hajar atau main penjarakan guru, seakan pupus jasa
sang guru di tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah pun harus dapat memberikan
jalur pembelaan khusus pada guru yang tersandung konflik dengan orang tua. Jika
kasus yang diadukan merupakan bagian dari proses pembelajaran atau masih dalam
kegiatan di sekolah seharusnya dilakukan mediasi terlebih dahulu antara pihak
orang tua dan pihak sekolah, jadi tidak langsung diperkarakan. Selanjutnya bisa
mediasi baik lewat organisasi profesi maupun
satuan dinas terkait membahas permasalahan atau kasus yang terjadi, orang tua
selayaknya percaya dan paham bahwa dengan memperkarakan tindakan guru adalah
tidakan emosional yang menurunkan harkat kewibawaan guru dan mencederai proses
mendidik itu sendiri.
Agar
otoritas dan kewibawaan guru tetap pada porsinya, perlu dibuat perundangan baru
yang lebih dapat memproteksi guru dari ancaman pengaduan dan kesewenangan.
Namun upaya harmonisasi antara guru, orang tua, dan masyarakat jauh lebih
penting dibangun sedemikian rupa sebelum segala sesuatunya terjadi . Jaya
selalu guru INDONESIA.
Terimakasih
No comments:
Post a Comment