Monday, March 16, 2020


ARTIKEL : PROTEKSI GURU
Disusun oleh : Wulan Widaningsih,M.Pd.
Guru SMP Negeri 1 Kemang Bogor



Guru SMK 2 Makasar dianiaya orangtua siswa hingga babakbelur. Oleh karena itu Perudangan Perlindungan bagi Guru harus menjadi wacana yang serius

Peristiwa memilukan terjadi menimpa seorang guru SMK Negeri 2 Makasar, Drs. Dasrul , yang habis digebuki oleh Adnan Achmad—orangtua siswa kelas 11 SMK Negeri 2 Makasar---
Orang tua siswa dari Alif, siswa kelas 11 SMK 2 Makasar yang naik percobaan ini tega menganiaya Bapak Dasrul hanya karena mendapatkan teguran tidak mengerjakan tugas. Sikap yang dilakukan oleh Adnan Achmad sangat disayangkan mengingat tindakannya amat ceroboh bahkan terkesan sewenang-wenang terhadap guru. Akibat penganiayaan itu pa Dasrul mengalami patah hidung dan berdarah-darah.Kasus penganiayan lainnya pun pernah  terjadi, saat orang tua siswa memenjarakan seorang guru yang menyubit siswa di Jawa Timur. Dan beberapa kasus lainnya yang merugikan kewibawaan guru sebagai pendidik.
Hal ini membuat miris kita bersama, civitas pendidik menjadi dirundung ketakuatan dan merasa tidak aman dalam mengembangkan amanah mendidik putra-putri bangsa. Sekolah bukan lagi tempat yang aman karena bisa saja sekonyong-konyong orang tua dapat bebas datang dan memaki, menganiaya, bahkan menciduk guru untuk dipenjarakan. Hal tersebut semestinya tidak perlu terjadi jika kita dapat mengevaluasi situasi dan kondisi yang ada. Kecenderungan ini terjadi disebabkan karena beberapa factor ;
Rendahnya komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua. Kegagalan komunikasi pihak orang tua dan sekolah berujung ada kesalahan persepsi dan tidak hadirnya kontak silaturahmi yang sebenarnya bisa dipupuk secara bersama-sama antara guru dan orang tua siswa. Hingga terjalin komunikasi positif dalam rangka membangun tumbuh kembangnya siswa. Dan pada kenyataannya orang tua terkadang tidak hadir di waktu-waktu penting sekolah, seperti  kontak komunikasi pada saat pembagian raport atau pada saat daftar ulang. Bahkan terkadang orang tua mewakilkan pada kerabat atau tetangganya sehinga tidak ada kontak pribadi dalam menyelesaikan permasalahan siswa
Belum  jelasnya perjanjian khusus antara orang tua siswa dan pihak sekolah mengenai ketentuan pelaksanaan tatatertib sekolah , sehingga tidak dipahami bentuk peringatan dan tindakan yang bermaksud menertibkan atau mendidik siswa karena melakukan pelanggaran tatatertib sekolah. Seharusnya perjanjian khusus antara sekolah dan orang tua dilakukan secara jelas bila perlu menggunakan materai hingga memiliki legalisasi jelas, jika guru melakukan tindakan itu hanya sebagai upaya menertibkan atau mendidik siswa.
Faktor lainnya adalah hukuman terhadap orang tua yang melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap guru tidak ditanggapi dengan serius, bahkan tuntutan balik tidak pernah terjadi. Dalam hal ini pihak guru saja yang dipersalahkan sebagi objek pesakitan yang telah melakukan tindakan “salah” dalam menangani prilaku siswa. Padahal jika terdapat tuntutan balik yang jelas maka tidak dengan mudah orang tua melakukan kekerasaan atau mempidanakan  guru.
Belum tersosialisasinya undang-undang perlindungan guru secara jelas dan tersebar di masyarakat bahwa guru dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh PP no.74 tahun 2008, pada pasal 39 ayat 1 bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sangsi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dari peraturan tertulis maupun tidak  tertulis yang ditetapkan guru, peraturan yang ditetapkan tingkat satuan pendidikan dan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangan. Pada ayat 2 menyatakan sangsi dapat berupa teguran atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang sifatnya mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan , kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Dari pernyataan perundangan di atas sebenarnya sudah jelas bahwa guru memiliki hak menangani siswanya dalam proses pembelajaran untuk berprilaku baik sesuai dengan tatatertib, mulai melakukan teguran, peringatan hingga skoresing. Namun orang tua dengan berbekal Undang-undang perlindungan anak pasal 80 ayat 1  berdalih bahwa apa yang dilakukan guru dianggap mencedrai siswa atau menganiaya siswa hingga mengalami kerugian materil dan imateril. Padahal berdasarkan yurisprudensi Mahkamah agung (MA) yang dikutip dari website MA, menyatakan bahwa guru tidak dapat dipidana saat menjalankan profesinya dan saat melakukan tindakan pendispilinan terhadap siswa. Apa yang dilakukan guru adalah bagian dari tugas guru dan tidak dapat dijatuhi pidana atau balik dianiaya , seperti yang dilakukan orangtua Alif pada pa Dasrul.
Faktor selanjutnya adalah paradigma guru dalam menangani kenakalan siswa pun harus diperbaiki. Batasan yang lajim mencubit, memukul atau menampar yang sering dilakukan sebagai upaya menertibkan siswa sudak tidak layak lagi dilakukan. Kewibawaan guru tidak dapat dicapai dengan tidak penertiban fisik. Sebutan guru kejam atau killer sudah tidak cocok lagi di jaman sekarang, tetapi dengan memperlihatkan prestasi dan kecerdasan serta keteladanan akan menjadi kunci charisma guru pada siswa. Carilah alternative positif yang lebih aman bagi siswa baik secara mental ataupun psikis. Misalnya dengan metode point kesahan, hukuman positif dengan membaca istigfar, melaksanakan shalat sunah atau dengan metode yang lain. Upayakan pula melakukan pembelajaran yang menarik dan menantangdi kelas sehingga siswa merasa senang dan mau menghabiskan energinya dalam belajar. Hal ini akan menimbulkan penghormatan, kepercayaan dan rasa aman bagi siswa dan tentunya bagi orangtua.
Dibalik itu semua, tetap saja perlindungan dan keamanan bagi guru perlu diperbaiki kembali. Pemerintah harus dapat menajamkan upaya sosialisasi  bagi kewenangan guru dalam mendidik siswa. Tidak sedikit-sedikit main hajar atau main penjarakan guru, seakan pupus jasa sang guru di tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah pun harus dapat memberikan jalur pembelaan khusus pada guru yang tersandung konflik dengan orang tua. Jika kasus yang diadukan merupakan bagian dari proses pembelajaran atau masih dalam kegiatan di sekolah seharusnya dilakukan mediasi terlebih dahulu antara pihak orang tua dan pihak sekolah, jadi tidak langsung diperkarakan. Selanjutnya bisa mediasi  baik lewat organisasi profesi maupun satuan dinas terkait membahas permasalahan atau kasus yang terjadi, orang tua selayaknya percaya dan paham bahwa dengan memperkarakan tindakan guru adalah tidakan emosional yang menurunkan harkat kewibawaan guru dan mencederai proses mendidik itu sendiri.
Agar otoritas dan kewibawaan guru tetap pada porsinya, perlu dibuat perundangan baru yang lebih dapat memproteksi guru dari ancaman pengaduan dan kesewenangan. Namun upaya harmonisasi antara guru, orang tua, dan masyarakat jauh lebih penting dibangun sedemikian rupa sebelum segala sesuatunya terjadi . Jaya selalu guru INDONESIA. 
Terimakasih

No comments:

Post a Comment

Pendaftaran Instruktur Pembelajaran Sastra berbasis Literasi Digital Bagi Guru

ayo, kita ikutan jadi Instruktur Pembelajaran Sastra berbasis Literasi digital bagi guru , jangan sampai ketinggalan ya! JAdi kesempatan bes...